Selasa, 03 November 2009

PARADIGMA BARU CUSTOMER DAN KESIAPAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN PEMERINTAH

Oleh : MUHAMMAD RYMAN NAPIRAH, SKM.

Pada tahun 1999, menghadapi abad ke 21, kita telah berhasil merumuskan visi pembangunan kesehatan Indonesia yang baru, yakni Indonesia Sehat 2010. Tahun 2010 merupakan ‘mile stone’ untuk mewujudkan Indonesia Sehat untuk dekade-dekade selanjutnya. Indonesia Sehat juga telah menggeser filosofi, sudut pandang, dan konsep pembangunan kesehatan kita, dari konsep sakit (paradigma sakit) ke konsep sehat (paradigma sehat). Sehat dalam berbagai bentuk, system, dan model, yakni sehat fisik, sehat jiwa dan perilaku, sehat sosial dan ekonomi, sehat lingungan, dan sehat budaya.
Sehat dalam bentuk yang lebih holistik, yang tidak terbelenggu hanya dalam bentuk sakit fisik saja (paradigma sakit). Pendekatan dengan paradigma baru ini (paradigma sehat) dianggap lebih manusiawi, lebih bermoral, ’cost effective’ dibanding dengan pendekatan lama (paradigma sakit). Paradigma sehat lebih bersifat ‘proaktif’, dibanding dengan paradigma sakit yang lebih ‘reaktif’ sifatnya. Pada dasarnya paradigma sehat yang proaktif ini, dalam wacana baru ini, terdiri dari berbagai sub-sistem (apabila diintegrasikan akan menjadi sebuah ‘Sistem Kesehatan’, baik dalam bentuk ‘Sistem Kesehatan Nasional’ / SKN, atau dalam bentuk ‘Sistem Kesehatan Daerah’ / SKD).
Customer (pelanggan), dalam hal ini merupakan pasien yang mengunjungi unit pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll.) menjadi salah satu ukuran yang penting untuk menilai mutu. Dikarenakan sifat mutu yang tidak subyektif, melainkan obyektif, maka customer menjadi titik penting pemegang kendali dalam menentukan tinggi rendahnya mutu, dengan kata lain menilai tinggi rendahnya kualitas pelayanan unit kesehatan.
Provider selaku penyedia jasa pelayanan kesehatan, mutlak mempertimbangkan kualitas mutu untuk customer. Institusi pelayanan kesehatan yang bertindak sebagai provider, dalam hal ini Rumah Sakit atau Puskesmas, mutlak melaksanakan exellent service (pelayanan prima) bagi customer / pasien. Petugas sebagai personal yang kontak langsung dengan pasien harus memiliki kompetensi dan keterampilan untuk melayani pasien dengan baik. Kapabilitas dan akuntabilitas menjadi hal urgen yang mutlak dipenuhi petugas. Di sisi lain, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung menjadi hal urgen lainnya yang patut diuperhatikan, guna menjamin kualitas pelayanan yang maksimal dan memuaskan pasien.
Paradigma customer yang dulunya kurang mampu menilai mutu, kini telah lebih kritis untuk menilai mutu pelayanan kesehatan yang diterimanya. Hal itu sangat erat kaitannya dengan paradigma pembangunan kesehatan kita, yang dulunya mengacu pada paradigma sakit, kini beralih pada paradigma sehat. Customer menaruh harapan yang sangat besar kepada provider untuk mampu memenuhi needs (kebutuhannya) akan pelayanan kesehatan secara adil, merata, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pembangunan Kesehatan adalah konsepsi guna tercapainya penduduk dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Memasuki millenium ketiga abad 21, Indonesia dihadapkan berbagai tuntutan perubahan dan tantangan strategis yang mendasar baik eksternal maupun internal yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan pembangunan nasional, termasuk pembangunan kesehatan. Perubahan yang sangat kental yang dapat kita rasakan adalah proses transisi menuju ke arah terbentuknya masyarakat madani yang lebih demokratis, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Penerapan nilai-nilai universal yang diakui masyarakat global (era globalisasi) merupakan salah satu prasyarat untuk dapat bersaing dalam masyarakat dunia yang semakin hari terasa tanpa ada sekat.
Seraya bergulirnya agenda-agenda reformasi dan era globalisasi dewasa ini dengan sifat perubahan konstan, cepat, dan radikal menyebabkan kian meningkatnya sikap kritis masyarakat terhadap segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah tuntutan akan pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, dan akuntabel, sebagai dampak meningkatnya tingkat pengetahuan dan kemampuan masyarakat serta derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) tanpa batas ruang dan waktu. Itulah sesungguhnya yang menjadi paradigma baru customer terkait mutu pelayanan kesehatan.
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka pemerintah, masyarakat, serta bebagai elemen berpartisipasi dalam mencapai tujuan tersebut. Salah satu bentuk dukungan tersebut dapat terlihat dukungan pemerintah dengan memberikan prioritas yang tinggi dalam peningkatan kesehatan masyarakat, termasuk pelayanan kesehatan untuk rakyat. Oleh karena itu, kita melakukan berbagai peningkatan dan perbaikan atas sistem, kebijakan, program sampai dengan layanan yang kita laksanakan pada tingkat masyarakat.
Pelayanan kesehatan yang bermutu maksudnya adalah pelayanan kesehatan yang memuaskan pemakai jasa pelayanan serta diselenggarakan sesuai dengan standar dan etika pelayanan profesi. Wujud nyata visi tersebut harus berupa pemeliharaan dan peningkatan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau dengan mengikutsertakan sebesar-besarnya peran aktif segenap anggota masyarakat dan swasta.
Visi tersebut menurut William C. Hsiao (2000) merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam sistem kesehatan, yaitu : good health for all citizens, financial risk protection for all, equal access for everyone to quality health care, and satisfaction of the people. Di Indonesia, salah satu strategi pelaksanaan cita-cita ini adalah dengan memantapkan kemandirian masyarakat yang seluas-luasnya dalam peran serta pembiayaan kesehatan.
Tulisan ini selanjutnya akan menguraikan tentang urgensi peran pemerintahan dalam mewujudkan kesehatan bagi seluruh masyarakat, memberikan perlindungan terhadap resiko finansial dalam bentuk asuransi kesehatan, akses yang sama bagi setiap warga dalam mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas, dan mewujudkan kepuasaan bagi masyarakat tersebut.
Kesehatan bagi Semua
Kita menyambut dengan gembira lahirnya Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah ditetapkan DPR RI periode 1999-2004 pada tanggal 28 September 2004 yang lalu. Mengingat undang-undang ini adalah dimaksudkan agar dapat terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal yang mesti diingat oleh pemerintah, bahwa kesejahteraan sosial tersebut dapat terwujud, dimana menurut pandangan ekonomi kesehatan apabila tercapai kepuasan maksimal yang diinginkan oleh setiap anggota masyarakat. Lebih jelas Hsiao (2000) menjelaskan bahwa kepuasan maksimal terhadap pelayanan kesehatan akan tercapai apabila terpenuhinya level absolut dan distribusi status kesehatan, adanya perlindungan resiko finansial (asuransi), serta kepuasan konsumen (masyarakat).
Level absolut adalah indikator kesehatan yang dapat dilihat berdasarkan angka-angka, misalnya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup (tiga kali lipat AKI di negara-negara ASEAN). Padahal target yang ingin dicapai pada tahun 2005 adalah kurang dari 125 per 100.000 kelahiran hidup dan 75 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Indonesia Country Report 2004). Angka ini masih jauh dari yang diharapkan menurut ketetapan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Cairo 1994. Sedangkan distribusi maksudnya adalah tersebarnya pelayanan kesehatan ke seluruh wilayah dan terjangkau oleh seluruh anggota masyarakat, sehingga setiap orang akan memperoleh kesempatan yang sama dalam pelayanan kesehatan (prinsip ekuitas).
Restrukturisasi Sistem Kesehatan
Sarana yang digunakan untuk mencapai fungsi sistem kesehatan tersebut adalah komponen struktural sistem kesehatan. Dalam hal ini, diperlukan upaya restrukturisasi terhadap 5 (lima) komponen utama yang akan berdampak pada hasil.
Pertama, restrukturisasi keuangan (financing). Keuangan atau anggaran merupakan komponen struktural utama yang akan mempengaruhi hasil karena dapat berdampak pada pendistribusian status kesehatan dan kemampuan pembiayaan pemerintah terhadap pelayanan kesehatan. Untuk itu diperlukan upaya memobilisasi dana bagi pelayanan kesehatan yang salah satunya melalui dana asuransi kesehatan untuk masyarakat luas. Pengalokasian dana hanya diperlukan terhadap pelayanan kesehatan tertentu. Pelayanan kesehatan apa yang akan didanai ditentukan berdasarkan cost-effectiveness dalam memproduksi hasil kesehatan. Subsidi hanya diberikan untuk kepentingan pendidikan kesehatan, pembangunan sarana kesehatan, dan untuk keperluan riset yang berpengaruh terhadap peningkatan pengadaan pelayanan kesehatan berkualitas. Sebab dengan adanya perubahan dan peningkatan dalam pengadaan (supply) pelayanan kesehatan akan mempengaruhi status kesehatan, kepuasan masyarakat, efisiensi dan penggunaan pelayanan kesehatan. Hal penting lainnya adalah perlunya upaya penataan institusional terhadap finansial pelayanan kesehatan. Finansial dapat diorganisasikan dan ditata melalui monopoli atau kompetisi. Sebagai contoh, mungkin diperlukan pemikiran oleh pemerintahan suatu bentuk asuransi yang diatur oleh pemerintah (centered-planning) seperti yang dijalankan oleh pemerintahan Taiwan (Republic of China) sejak tahun 1995 dan telah membuktikan cakupan kepesertaan 96 persen populasi pada tahun 1999 saja. Sehingga sekarang ini hampir setiap warga masyarakatnya berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kesempatan yang sama dan dengan biaya yang jauh lebih murah pada tingkat distrik atau langsung ke tingkat pusat (rumah sakit terbaik dengan teknologi kesehatan yang tinggi).
Kedua, restrukturisasi organisasi makro melalui penggorganisasian pasar seperti membagi fungsi pelaksanaan pelayanan kesehatan pada bagian terkecil untuk alasan efisiensi dan kualitas (misalnya home care, pusat rehabilitasi, dll.) yang terintegrasi secara vertikal.
Ketiga, memilih sistem pembayaran (payment system) yang tepat kepada pemberi pelayanan kesehatan (provider). Misalnya pada asuransi menggunakan konsep tarif paket (package tariff) seperti dikembangkan PT Askes atau konsep kapitasi (capitation-concept) untuk mencegah dampak over utilization atau unnecessary-utilization pelayanan kesehatan.
Keempat, diperlukan regulasi dengan coercive power dari pemerintah melalui instrumen undang-undang dan peraturan seperti UU SJKN baru-baru ini dan ketentuan undang-undang lain yang mewajibkan setiap orang untuk melindungi dirinya dengan asuransi kesehatan. Regulasi ini akan efektif apabila terbukti desain dan cara pelaksanaannya memang baik (good design and wording) dan pemerintah sanggup melaksanakan dan menegakkan regulasi tersebut.
Kelima, diperlukan upaya edukasi, informasi dan persuasi untuk mempengaruhi keyakinan, harapan, gaya hidup dan pilihan masyarakat. Untuk sektor kesehatan upaya ini dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang profesional di bidangnya.
Kesiapan Pemerintah
Terkait kesiapan pemerintah, dalam hal ini Depkes, telah menetapkan prioritas sebagai bagian dari pembangunan sektor kesehatan. Pertama, yakni kita benar-benar ingin meningkatkan pelayanan kesehatan untuk ibu dan anak. Kedua, meningkatkan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin. Revitalisasi puskesmas, posyandu, kegiatan seperti pekan imunisasi, kita hidupkan kembali di pedesaan dan hasilnya positif, termasuk pemberian asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin agar mereka memiliki akses di dalam upaya pelayanan kesehatan bagi mereka.
Dalam mendukung upaya tersebut diperlukan sejumlah langkah ke depan untuk terus meningkatkan mutu dan jumlah tenaga kesehatan, baik paramedis, dokter maupun dokter-dokter spesialis, baik melakukan pendidikan, pembinaan, dan pembinaan karier. Pemerintah kita telah menetapkan untuk melakukan program khusus untuk menambah jumlah dokter-dokter spesialis yang sangat diperlukan masyarakat luas. Dengan harapan 3-5 tahun mendatang jumlah dokter spesialis kita makin cukup rasionya dibandingkan jumlah masyarakat yang harus dilayani. Dengan demikian tenaga medis kita akan semakin termotivasi untuk menjalankan tugas dan pengabdiannya, terutama di daerah terpencil, teringgal, dan di daerah perbatasan.
Keberhasilan pembangunan kesehatan tidak terlepas dari partisipasi aktif masyarakat. Inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan telah lama dilakukan. Berbagai upaya kesehatan berbasis masyarakat banyak didirikan, antara lain dalam bentuk Posyandu yang berjumlah 2622 yang terdiri dari 49,12% Posyandu Pratama, 35,85% Posyandu Madya, 13,58% Posyandu Purnama, dan 1,45% Posyandu Mandiri, Pondok Bersalin desa (Polindes) sebanyak 77, Pos Obat Desa (POD) sebanyak 194, Taman Obat Keluarga (TOGA) sebanyak 25070, Pos Upaya Kesehatan Kerja (UKK) sebanyak 66, tapi pemberdayaan masyarakat dalam bentuk Warung Obat Desa belum ada.
Pemberdayaan masyarakat dalam arti mengembangkan dan menumbuhkan prakarsa masyarakat yang lebih luas dalam mendukung upaya peningkatan derajat kesehatan yang terjadi selama ini belum terkoordinasi dengan baik, sehingga hasilnya menjadi kurang optimal. Di samping itu, upaya menggerakkan partisipasi masyarakat yang dilakukan selama ini juga masih sebatas mobilisasi, sehingga tidak dapat menjamin keberlangsungannya. Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan pula dalam berbagai bentuk, seperti Gebrak Malaria, Gerakan Sayang Ibu (GSI), Gerakan Terpadu TB-Paru, dan lain- lain.
Upaya Pendukung
Dibutuhkan upaya pendukung yang kongkrit agar mutu pelayanan kesehatan, yang khususnya dikoordinir oleh pemerintah, dapat tercapai dengan hasil yang optimal. Dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut :
 Pemerintah harus mampu melaksanakan reformasi dan restrukturisasi pada determinan sistem kesehatan nasional (determinan ekonomi, politik, dan budaya), agar pelaksanaan pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia bukan lagi hanya mimpi, tapi dapat menjadi kenyataan di masa-masa yang akan datang dengan mewujudkan pemerataan pelayanan kesehatan, memberikan jaminan terhadap risiko finansial (asuransi kesehatan), memberikan kesamaan dalam mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas, dan memenuhi kepuasan bagi seluruh masyarakat dalam menerima pelayanan kesehatan.
 Masyarakat diharapkan mampu menerima pelayanan kesehatan yang berkualitas. Hal itu dikarenakan kesehatan adalah hak asasi manusia, sekaligus adalah investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Dengan demikian, perlu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara sistematis, berkesinambungan, dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemandirian setiap orang (individu) dan keluarga untuk hidup sehat sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Dengan tercapainya pelayanan kesehatan yang bermutu, adil, dan merata, maka visi pembangunan kesehatan akan dapat tercapai sebagaimana yang diimpikan.